Detiknews.id Surabaya – Di tengah derasnya arus digitalisasi, teknologi seharusnya menjadi jembatan bagi semua orang. Untuk mengakses informasi dan berpartisipasi, dalam kehidupan sosial. Meski perangkat seperti ponsel pintar dan komputer kini semakin canggih. Banyak tunanetra belum memanfaatkannya secara optimal. Bagi penyandang disabilitas netra, kemajuan teknologi kerap menghadirkan tantangan baru.

Teknologi Asistif seperti screen reader JAWS, NVDA, atau TalkBack. Dirancang khusus agar mereka dapat membaca dokumen, mengakses informasi, dan berkomunikasi tanpa hambatan visual.
Fenomena inilah yang melatarbelakangi, kegiatan Pelatihan Teknologi Asistif, bagi Forum Tunanetra Surabaya.

Kapolres Dapat Penghargaan dari Bupati Gresik, 12 Penyandang Disabilitas Bekerja di Mapolres
“Kami menyelenggarakan bersama tim dosen dan mahasiswa Universitas Negeri Surabaya. Tujuannya sederhana, namun bermakna: membantu penyandang tunanetra agar lebih mandiri dan percaya diri dalam menggunakan teknologi digital,” tutur Riski Prasetya Arbi, Dosen UNESA.
Sebanyak 16 peserta tunanetra, mengikuti kegiatan ini dengan antusias. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, dan sebagian besar belum familiar. Dengan aplikasi pembaca layar, maupun fitur aksesibilitas di ponsel mereka.

Melalui pelatihan berbasis praktik langsung. Peserta diajak mengenal berbagai perangkat dan aplikasi pendukung seperti Be My Eyes. Platform yang memungkinkan tunanetra, memperoleh bantuan visual secara real-time, dari relawan di seluruh dunia.
Hasilnya menggembirakan. Skor rata-rata kemampuan peserta meningkat signifikan, setelah pelatihan. Lebih dari sekadar angka statistik, perubahan paling nyata terlihat pada sikap mereka. Peserta yang awalnya ragu bahkan takut mencoba. Kini tampil percaya diri, aktif, dan bersemangat. Menggunakan teknologi untuk aktivitas sehari-hari.
Temuan ini memberikan pesan penting:
Teknologi Asistif bukan sekadar alat bantu, melainkan sarana pemberdayaan. Melalui teknologi ini, penyandang disabilitas netra dapat menembus batas-batas keterbatasan fisik, mengakses dunia pendidikan, hingga berpartisipasi dalam dunia kerja.
Namun, perjalanan menuju masyarakat inklusif masih panjang. Banyak penyandang disabilitas di Indonesia belum memperoleh kesempatan belajar Teknologi Asistif.
Kurangnya pendampingan, terbatasnya pelatihan, dan minimnya fasilitas menjadi hambatan utama. Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah menjamin hak mereka atas aksesibilitas teknologi dan pendidikan.
Kesenjangan antara kebijakan dan praktik lapangan inilah yang perlu segera dijembatani. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan komunitas disabilitas harus membangun sinergi berkelanjutan.
Pelatihan tidak cukup dilakukan satu kali, melainkan perlu dirancang berjenjang dan berkesinambungan. Mulai dari pengenalan dasar hingga penguasaan aplikasi berbasis kecerdasan buatan yang kini semakin relevan.
Kegiatan Pelatihan Teknologi Asistif di Surabaya membuktikan, bahwa inklusi dapat diwujudkan bukan hanya melalui regulasi, tetapi melalui tindakan nyata di akar rumput.
Ketika universitas, masyarakat, dan komunitas disabilitas bergerak bersama, hasilnya jauh lebih bermakna: tumbuh rasa percaya diri, kemandirian, dan partisipasi sosial yang lebih luas di kalangan penyandang disabilitas.
Era digital seharusnya tidak meninggalkan siapa pun di belakang. Teknologi harus menjadi jembatan kesetaraan, bukan sekadar simbol kemajuan. Bagi penyandang tunanetra, setiap aplikasi yang mudah diakses, setiap pelatihan yang mereka ikuti, dan setiap pintu peluang yang terbuka adalah cahaya kecil. Menuju kehidupan yang lebih mandiri.
Inklusi bukanlah belas kasih. Ia adalah wujud nyata dari keadilan sosial dan kemanusiaan. Memastikan setiap orang, tanpa kecuali, dapat hidup, belajar, dan berkontribusi, dengan martabat yang setara. (M9)




Komentar