Detiknews.id Surabaya – Universitas Airlangga Surabaya (Unair) melalui Airlangga Institute of Indian Ocean Crossroads (AIIOC), mengajak warga Kampung Plampitan menggelar menyelenggarakan pameran seni rupa urban bertajuk Ritus Liyan / Mundane Rites pada tanggal 24 hingga 31 Mei 2024 di Kampung Plampitan. Pameran ini diikuti oleh sebelas seniman, dua di antaranya adalah warga Kampung Plampitan.
Lina Puryanti Ph.D, Direktur AIIOC menuturkan, pameran ini diinisiasi oleh Airlangga Institute of Indian Ocean Crossroads (AIlOC) dan menjadi rangkaian kegiatan dari Intemational Convention of Asian Scholars (ICAS) 13 yang akan diselenggarakan di Surabaya pada 28 Juli-1 Agustus 2024 mendatang.
“Kegiatan ini sekaligus juga menjadi kado Dies Natalis Universitas Airlangga yang ke-70/ Lustrum XIV tahun 2024,” tuturnya.
Setiap seniman memamerkan karya-karya seni rupa berupa fotografi, videografi, seni performatif, sketsa, lukisan, instalasi, dan sebagainya. Sebagian karya juga berbentuk kain-kain batik yang dikerjakan bersama antara seniman dan kelompok ibu di Plampitan.
“Karya-karya yang dipamerkan berusaha merespon kehidupan sehari-hari dan pengetahuan lokal warga Kampung Plampitan,” ujar Bintang Putra, kurator pameran ini.
Bintang menjelaskan bahwa para seniman memulai proses berkarya sejak bulan Maret. Dimulai dari sebuah lokakarya intensif yang menghadirkan Aarti Kawlra, seorang ahli antropologi dari Chennai, India.
Dalam lokakarya ini, Aarti menyampaikan metode observasi sosial yang dibutuhkan bagi para seniman yang ingin bekerja bersama warga di sebuah wilayah. Sebagai seorang akademisi, Aarti telah bekerja bersama pengrajin kriya di berbagai belahan dunia.
“Kami juga mengundang Aarti untuk menemani proses berkarya dan menjadi kurator bagi pameran Ritus Liyan,” kata Bintang. Jum’at (24/05/2024)
Dalam pameran Ritus Liyan, karya-karya seniman ditempatkan di berbagai ruang yang tersebar di Kampung Plampitan. Sebagian seniman mencoba mengaktivasi ruang publik dan ruang terbengkalai di kampung tersebut.
“Kami memanfaatkan dua tapak rumah yang terbengkalai sebagai ruangan pamer, kami berharap ruang-ruang ini bisa terus dimanfaatkan warga setelah pameran berakhir,” kata Advan Beryl dari kantor arsitek SB301 yang menjadi penata ruangan pamer.
Selama periode pameran, seniman dan penyelenggara menyiapkan berbagai program publik yang melibatkan warga Kampung Plampitan, antara lain lokakarya pembuatan plang, membatik, rujakan, makan penyetan lele, hingga mblakrak di sepanjang Kali Mas yang tepat melintas di depan Kampung Plampitan.
Dari Pagar Hingga Penyetan
Berbagai karya dalam pameran Ritus Liyan / Mundane Rites mengangkat narasi sehari-hari yang dapat ditemukan di Kampung Plampitan. Setiap seniman mengangkat kisah-kisah kecil yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan cenderung diabaikan.
Misalnya seniman Lutfia Setyo yang berasal dari Semarang, karyanya mengangkat narasi tentang pagar yang menandai wajah rumah-rumah di Kampung Plampitan.
“Saya melihat pagar di Kampung Plampitan justru menjadi media penghubung antara warga saat bertegur sapa,” ujar Setyo.
la membuat sebuah instalasi dari potongan kain perca yang mewakili kelenturan batas sosial bagi warga Kampung Plampitan.
Sementara itu Kenny Hartanto, seniman asal Surabaya yang memiliki latar desainer produk, justru tertarik dengan rombong penjaja sate yang rutin berkeliing di Kampung Plampitan.
“Saya terpikat dengan rombong sate yang dibuat dari kayu-kayu bongkaran rumah kolonial di Kampung Plampitan. Ini menjadi contoh kongknt dari praktik daur ulang yang saat ini sedang populer di kalangan desainer,” kata Kenny.
Ia mamamerkan sketsa-sketsa monokromatik dari detail sebuah rombong untuk mempertanyakan kemungkinan-kemungkinan praktik daur ulang yang ia temui selama mengamati kehidupan di Kampung Plampitan.
Seorang seniman lain bernama Fildzah Amalia justru tertarik menelusuri perjalanan air yang berpusar di kampung Plampitan. Mulai dari sungai, sumur, pipa-pipa, kran, gayung, masuk ke gorong-gorong dan kembali ke sungai.
Ketertarikannya ini berasal dari memoar yang ditulis oleh Roeslan Abduigani, pahlawan nasional yang lahir dan besar di Kampung Plampitan.
Selain membuat sebuah publikasi dan instalasi seni yang memanfaatkan limbah plastik, Fildzah juga akan mengorganisir sebuah acara makan penyetan lele bersama warga di Kampung Plampitan.
Selain ketiganya, terdapat seniman-seniman lain yang akan mempresentasikan hasil pengamatan mereka terhadap kehidupan sehari-hari warga Kampung Plampitan melalui berbagai karya seni yang Gibuat melalui kerja kolaborasi bersama warga setempat.
Seniman Partisipan antara lain, Burhan (Surabaya), Cahyo Prayogo (Surabaya), Fildzah Amalia (Sidoarjo), Gata Mahardika (Gresik), Kenny Hartanto (Surabaya), Lutfiah Setyo Cahyani (Semarang), Pingki Ayako (Surabaya), Redi Murti (Surabaya), Ryan Herdiansyah (Surabaya) dan Tasyha Febrycha Valentine (Surabaya). (M9)
Komentar