Detiknews.id Malang – Analis Keamanan Publik Roger P. Silalahi, beredar menulis narasi di media sosial WhatsApp Grup (WAG), terkait pertanggungjawaban tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang. Dalam narasi tersebut, Roger Silalahi menulis tanggapan tentang tragedi Kanjuruhan yang menelan korban ratusan korban jiwa, berikut narasi selengkapnya.
Insiden menelan korban 125 jiwa. Tragedi sepak bola terbesar kedua di dunia sejak 1964, sungguh memilukan dan memalukan, dan mengerikan. Seperti biasa, publik bereaksi keras atas kejadian, memaki, mengutuk, dan mempersalahkan berbagai pihak.
“Saya melibatkan diri dalam berbagai diskusi di berbagai ruang publik, mengamati, mengumpulkan data, dan akhirnya angkat bicara,” jelasnya.
Mempersalahkan Polisi dengan gas air mata, yang disebut membuat sesak dan menimbulkan kepanikan serta keterpojokkan massa di beberapa titik, itu reaksi banyak pihak.
FIFA melarang hal tersebut dalam point 19B peraturannya kata mereka, mengapa Polri melakukannya…? Ramai-ramai mempersalahkan Polisi, dan setelah berbagai data dipaparkan, barulah mereda, dan mulai berpikir objektif.
“Ada banyak hal terjadi, ada banyak video tersebar, ada banyak spekulasi, yang terpenting bagi kita adalah memahami keseluruhannya, dari berbagai sisi, dan mengkaji keseluruhannya agar tidak terjadi lagi,” ungkapnya.
Lanjutnya, untuk Persiapan Pertandingan, sebaiknya dipersiapkan cukup lama, dan melibatkan semua stake holder terkait, Panitia, Klub Sepak Bola, Media, Pemda, Kepolisian, dan juga Supporter.
“Berbagai hal dicoba dilakukan, termasuk adanya pengaturan tidak hadirnya ‘Bonek’ di pertandingan, mengikuti keputusan rapat Aremania dan Panitia Pelaksana. Tapi, saran dan permintaan dari Kepolisian terkait jam penyelenggaraan dan pembatasan jumlah penonton ditolak dan diabaikan oleh Panitia Pelaksana,” terangnya.
Tidak terlepas dari Indosiar selaku stasiun TV yang menyelenggarakan tayangan langsung laga tersebut, dan Panitia Pelaksana yang mengejar keuntungan semaksimal mungkin dari penjualan tiket masuk, sehingga akhirnya jam tayang tidak berubah, sementara kapasitas stadion yang mampu menampung 42.499 orang dimaksimalkan di angka 42.000 tiket, tidak mengikuti saran Kepolisian yang menyarankan untuk menurunkan ke angka 25.000 tiket saja.
Data menunjukkan supporter yang datang berjumlah 42.288 orang, berarti tinggal 211 orang diluar supporter yang boleh masuk stadion. Melihat ini, jika ditambahkan dengan jumlah Pasukan Pengamanan dari unsur Polisi dan TNI (jumlah pasti belum berhasil didapatkan). Stadion Kanjuruhan memiliki 14 pintu, itu menampung jumlah orang melebihi kapasitasnya. Bisa dibayangkan, setidaknya 1 pintu harus melayani sekitar 7.265 orang.
Permintaan Kepolisian untuk menurunkan jumlah penonton pastilah terkait dengan ‘Risk Assessment’ dan ‘Risk Management’ yang diperhitungkan dan direncanakan Kepolisian.
Penyelenggara dan media tayang langsung dapat dianggap meremehkan Kepolisian. Jumlah anggota yang tersediapun pastilah terbatas, hal inipun terkait dengan permintaan penurunan jumlah penonton.
Tapi apa mau dikata, pertandingan dimulai, pertandingan selesai, kerusuhan terjadi. Kepolisian menembakkan gas air mata, sesuai dengan Protap dan Perkap Nomor 16 tahun 2006, lalu banyak yang mempersalahkan hal gas air mata ini dengan berpegang pada aturan FIFA Point 19B.
Logika berpikir, Jika berdasarkan tingkatan peraturan, maka yang harus dipertanyakan adalah PSSI. Apakah standar stadion Kanjuruhan sesuai dengan standar FIFA…? Jika tidak, salahkan PSSI. FIFA tidak bisa ditempatkan lebih tinggi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kenapa tidak mempermasalahkan standar stadion yang tidak mengikuti aturan FIFA sebagai ‘atasannya’…?
Terkait Aturan FIFA, peraturan tersebut berlaku hanya untuk pertandingan yang langsung berada di bawah FIFA, dan pertandingan Internasional yang diselenggarakan dengan regulasi FIFA. Dari sini, jelas aturan tidak berlaku untuk laga di Kanjuruhan.
Peraturan nomor 19 yang dianggap atau dipersalahkan dilanggar Polri tersebut diperuntukkan bagi Stewards, dan Petugas Keamanan yang diperbantukan sebagai Stewards. Apa itu “Stewards”…? Definisi Stewards adalah; “For the purpose of these regulations, a steward is defined as any person employed, hired, contracted or volunteering at the stadium to assist in the management of safety and security of spectators, VIPs/VVIPs, players, officials and any other person at the stadium, excluding those persons solely responsible for the security of designated individuals and members of the police services responsible for maintaining law and order.”
Sementara peraturan FIFA pasal 9 dan 10 juga mencantumkan adanya “contingency & emergency plan” untuk pengamanan jika terjadi kerusuhan. Jadi, ketika terjadi kerusuhan, yang berlaku adalah “emergency plan”, “force major”.
Keseluruhannya yang saya jelaskan sebelumnya, bahwa tidak ada dan tidak mungkin Kepolisian Negara Republik Indonesia harus tunduk pada peraturan FIFA.
Terakhir, Pengelola Stadion dimana saat kejadian, pintu dibuka, penonton masuk, lalu pintu dikunci, lalu penjaga pintu pergi entah ke mana, saat kerusuhan pecah, semua berebut keluar, berdesakkan, terhimpit di ruang menuju pintu keluar, dan beberapa pintu terkunci. SOP stadion seperti apa…? Sesuai FIFA…? Adakah SOP standar PSSI…?
Saya meragukannya, karena banyak yang terhimpit, kehabisan oksigen, sampai meninggal sekian banyak, apakah karena gas air mata atau karena tidak bisa keluar stadion…?
Masyarakat harus berani melihat keseluruhan peristiwa sesuai runutannya secara objektif, jangan hanya cari gampang mempersalahkan aparat, atau terbawa arus mempersalahkan polisi lalu pemerintah lalu ujungnya Salah Jokowi. Jangan mau ditunggangi, tempatkan semua pada posisi, sesuai porsi. (M9)
Komentar