Detiknews.id Jember – Nikah Siri, merupakan hal yang disahkan menurut agama. Namun, harus diwaspadai. Karena tidak mempunyai kekuatan hukum. Sebagian orang tidak memahami dampaknya. Mayoritas pihak perempuan dan anak, yang akan dirugikan.
Nikah siri tidak mempunyai kekuatan hukum. Terkait ini, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendukung program pemerintah. Untuk mengantisipasi adanya ketidak sejahteraan akibat dari Nikah Siri.
Jawa Timur untuk nikah siri, mayoritas berada di Kabupaten Jember. Pasalnya, sepanjang 2023, Kabupaten Jember mencatat 5.348 kasus perceraian dari total 18.635 pernikahan. Tingginya angka perceraian, menjadi bukti kesulitan keluarga dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga. Polemik sosial ini banyak dijumpai di Ambulu, Puger, Kaliwates, Patrang, dan Wuluhan.
Tim Media Pokja BKKBN melakukan investigasi di Kabupaten Jember. Mulai tanggal 26 Desember hingga tanggal 28 Desember 2024. Kunjungan disambut baik oleh Humas PA Jember, Drs. Moh. Hosen, S.H., M.H., Kepala Dispenduk Capil Jember Isnaini Dwi Susanti, S.H, M.Si, Kanit PPA Polres Jember Ipda Qori Novendra, S.H, dan Lurah Tegal Besar Thomas Heru Indra Kurniawan.
Kadispendukcapil Jember, Isnaini Dwi Susanti, menuturkan, identitas kependudukan penting. Mayoritas pemicu pernikahan dini, dari pengaruh media sosial. Jika pernikahan tanpa surat resmi dari negara (siri), maka akan sulit untuk mengurus identitas Kependudukan.
“Kami sering memberikan edukasi kepada masyarakat terkait kepengurusan kependudukan. Orang tua harus lebih bijak dalam menikahkan anak, terutama jika belum cukup umur. Kami juga melakukan penolakan, jika data yang diberikan kurang lengkap ataupun tidak memenuhi syarat,” tuturnya.
Sementara, Hosen, menjelaskan, berdasarkan data dari Pengadilan Agama (PA) Jember menunjukkan tingginya pengajuan Dispensasi Nikah (Diska). Pada 2023, tercatat 1.300 permohonan diska, dengan 95 persen di antaranya disetujui karena memenuhi persyaratan administrasi.
“Mayoritas alasan utama pengajuan Diska adalah usia pasangan belum mencukupi dan adanya kehamilan di luar nikah. Hal ini didominasi perempuan usia 17–18 tahun. Kami hanya mengabulkan permohonan berdasarkan kondisi tertentu, seperti kehamilan atau pertimbangan ekonomi, dengan tetap mematuhi Perma Nomer 5 Tahun 2019, yaitu cara pemeriksaan Diska,” jelasnya.
Menurut Lurah Tegal Besar, Heru Setiawan, pihaknya lebih intens sosialisasi terkait dampak nikah siri terhadap hak-hak anak. Kondisi ini menunjukkan kompleksitas sosial yang membutuhkan perhatian serius.
“Kami sering menerima pengajuan akta kelahiran dari ibu-ibu yang ditinggal suami, sementara anaknya sudah besar. Ini menyulitkan administrasi, karena pernikahan orang tuanya tidak tercatat. Kami mengajak Ketua RW untuk mendorong masyarakat yang telah lama menikah siri, agar mengajukan itsbat nikah ke KUA. Itsbat itu penting, untuk melindungi hak pasangan dan anak,” ungkapnya.
Pelaku Nikah Siri, Ningsi Asli, warga Desa Kaliwates, Jember, menjalani pernikahan siri pada usia 16 tahun. Kini ia harus menanggung akibatnya. Usai melakukan pernikahan siri, suami meninggalkannya tanpa ada kabar.
“Saya menikah siri karena sudah cinta dan percaya padanya. Tapi ternyata dia pergi begitu saja. Rasanya sakit, apalagi status saya tidak diakui secara hukum,” ungkap Ningsi, meratapi nasibnya, Sabtu sore (28/12/2024)
Sebagian Tokoh agama, melegalkan pernikahan siri. Alasanya, untuk menghindari dosa zina. Tetapi dampak lain, akibat fatal dari pernikahan siri. Yaitu, tidak mendapatkan hak dan perlindungan. Seperti perkara terjadinya kekerasan fisik kepada perempuan dan anak.
Menyikapi hal ini, Kanit PPA Polres Jember Ipda Qori Novendra, SH, menambahkan, jika ada kekerasan pada keluarga dari pernikahan siri. Maka bukan perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Karena Pasal KDRT, hanya bisa diterapkan kepada pasangan yang sah atau resmi.
“Untuk istri siri tidak memiliki perlindungan hukum yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Penghapusan KDRT. Jadi jika ada kekerasan pada keluarga dari Nikah siri, dijerat Pasal 351 Ayat (1) atau ayat (3) KUHP, dengan hukuman maksimal 5 tahun. Sedangkan, Pasal 279 ayat (1) KUHP, mengatur bahwa perkawinan siri dapat diancam dengan pidana penjara maksimal lima tahun,” jelasnya.
Melihat tingginya angka perceraian dan pernikahan dini. Semua pihak bersinergi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga keagamaan. Edukasi tentang pentingnya mencatatkan pernikahan harus ditingkatkan demi melindungi hak pasangan dan anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut. (M9)
Komentar