Detiknews.id Surabaya – Keluarga besar Lie Tjeng Lok, melalui Kuasa Hukumnya, Advokat Indra Yunus Wahyu Laturette. Mengajukan Peninjauan Kembali (PK), atas sengketa tanah seluas 137 hektare, diantaranya tanah seluas 78.145 m² di Bitung, Sulawesi Utara. Pasalnya, tanpa sepengetahuan ahli waris Lie Tjeng Lok, tanah tersebut telah ditransaksikan atau diokupasi, sebagai Depo BBM di Bitung, sejak 1960-an.
Aset ini merupakan peninggalan tiga perusahaan era kolonial milik keluarga, yakni: NV Handel Maatschappy Lie Boen Yat & Co., NV Bouw Maatschappij Noord Celebes, dan NV Celebes Molukken Cultuur Maatschappij.
Advokat Indra Yunus Wahyu Laturette, Kuasa Hukum Lie Tjeng Lok, menjelaskan, bahwa sejak 2004 sejumlah perkara terkait objek Eigendom Verponding No. 45, bergulir tanpa melibatkan Ahli Waris Lie Tjeng Lok.
“Keluarga memberi kuasa penuh untuk melindungi dan mempertahankan seluruh aset warisan pewaris,” ujar Indra Yunus Wahyu Laturette, Kuasa Hukum keluarga Lie Tjeng Lok, di kantornya Satoria Tower, Surabaya, Jumat (05/12/2025).
Ia ditunjuk oleh para ahli waris dan likuidator keluarga, termasuk Frans J Tumuju, Leonardy Tonggowasito dan Hengky Kaunang.
Tanah tersebut tercatat, dalam Eigendom Verpounding No. 45 seluas 186 bau atau sekitar 137,64 hektare. Menurut keluarga, sekitar 78.145 m² asetnya, telah diokupasi dan digunakan sebagai Depo BBM di Bitung sejak 1960-an.
Linda Lomboan, kuasa khusus perwakilan ahli waris keluarga besar almarhum Lie Tjeng Lok, menegaskan, bahwa sejak depo BBM berdiri. Tidak pernah ada transaksi apa pun, antara ahli waris dan pihak yang kini menguasai lahan.
“Sejak 1960-an tidak ada sewa, jual beli, atau pinjam pakai. Tidak pernah ada pemberitahuan kepada kami,” ujarnya.
Menurut Linda, Keluarga baru mengetahui adanya perkara ketika putusan pengadilan muncul. Dokumen kepemilikan yang mereka miliki, mulai 1911 hingga 2013 tidak dipertimbangkan secara memadai.
“Kami kaget karena ada putusan, padahal bukti-bukti kami lengkap,” katanya.
Linda juga mengungkap bahwa ada dua permohonan eksekusi yang diajukan oleh pihak lain, yakni Helena Ponto dan Hendrik Wowan. Sementara, Ahli Waris tidak pernah dilibatkan dalam perkara sebelumnya.
“Kami bahkan tidak mengenal pihak-pihak yang mengaku sebagai pemilik,” ujarnya.
Linda menambahkan, keluarga menyimpan dokumen historis lengkap. Termasuk putusan tahun 1965, yang menetapkan tiga likuidator keluarga. Dua likuidator, telah wafat dan posisinya digantikan oleh anak-anak mereka sesuai kesepakatan keluarga.
Selama bertahun-tahun ahli waris, tidak mengetahui aktivitas pembangunan di lokasi. Karena area dikuasai para Mandor lapangan.
“Kami bahkan tidak tahu tanah itu dibangun,” kata Linda.
Ia juga baru mengetahui adanya klaim dari keluarga Karuntu dan Pontoh setelah tinggal di Bitung.
“Kami kaget karena nama ahli waris asli tidak pernah muncul, dalam perkara-perkara itu,” ujarnya.
Ajukan PK, untuk Koreksi Putusan yang Dinilai Tidak Adil
Derden Verzet yang diajukan keluarga tahun 2017, kandas hingga kasasi. Putusan terbaru, MA No. 953 K/PDT/2025, dinilai belum memberi keadilan bagi ahli waris. Karena itu keluarga resmi mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
“PK ini untuk mempertahankan hak hukum ahli waris dan memastikan pemberesan aset sesuai dokumen yang sah,” ujar Indra.
Menurutnya, sengketa ini adalah warisan kolonial yang selama puluhan tahun. Melahirkan banyak putusan, tanpa menghadirkan pemilik sebenarnya.
“PK adalah jalan terakhir,” tegasnya.
Bagi Linda, sengketa panjang ini bukan sekadar persoalan hukum.
“Kami hanya ingin aset keluarga tidak diambil pihak lain. Bukti dan sejarahnya jelas. Itu yang kami perjuangkan,” tegasnya.
Keluarga berharap, PK membuka kembali fakta-fakta yang selama ini tertutup. Akibat tidak dilibatkannya, ahli waris dalam perkara sebelumnya. (M9)



Komentar