SHI Minta Presiden Revisi PP No 94 Tahun 2012 dan Perpres No 5 Tahun 2013

Solidaritas Hakim Indonesia

Detiknews.id Surabaya – Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) baru saja menyerukan Gerakan Cuti Bersama Hakim se-Indonesia. Forum Solidaritas Hakim Ad Hoc Tipikor dan PHI Indonesia (FS-HATPI) digelar untuk memperjuangkan para Hakim se-Indonesia. Dalam rangka kesejahteraan, independensi dan kehormatan lembaga peradilan di Indonesia.

SHI sebagai bentuk solidaritas perjuangan kepada Hakim karir se-Indonesia. Dengan ini, Hakim Ad Hoc Tipikor dan PHI yang tergabung dalam Forum Solidaritas Hakim Ad Hoc Tipikor dan PHI Indonesia (FS-HATPI) menyatakan :

1. Apresiasi dan dukungan sepenuhnya atas perjuangan Solidaritas Hakim Indonesia,  memohon kepada Presiden untuk segera merevisi PP No 94 tahun 2012. Tentang hak Keuangan dan Fasilitas Hakim dibawah Mahkamah Agung.

Guna menyesuaikan dengan standard hidup layak sesuai dengan besarnya tanggung jawab profesi Hakim, serta tuntutan lainnya. Diantaranya, tidak hanya terbatas berupa pembentukan regulasi mengenai perlindungan jaminan keamanan Hakim, hingga pengesahan RUU Jabatan Hakim.

2. Memohon kepada Bapak Presiden sekaligus dapat merevisi Perpres Nomor 5 Tahun 2013, tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc. Untuk Hakim Ad Hoc Tipikor dan PHI, telah lebih dari 11 tahun belum mengalami penyesuaian.

Disamping itu, agar memberikan Hak Gaji selain Tunjangan Kehormatan yang telah ada, serta memberikan Tunjangan Pajak (PPH 21) atas Gaji dan tunjangan Hakim Ad Hoc tersebut:

3. Memohon kepada Bapak Presiden agar memberikan pula fasilitas Pensiun atau tunjangan Purna Tugas, sebagaimana diterapkan pada Pejabat Negara lainnya. Atau setidaknya disertakan dalam program BPJS Ketenagakerjaan (manfaat jaminan pensiun dan jaminan hari tua) yang besaran iurannya ditanggung oleh negara, selama Hakim Ad Hoc menjabat.

Dan pula mengenai penghitungan Uang Purna Tugas (Uang Pisah) bagi Hakim Ad Hoc dihitung dengan penyesuaian masa tugas masing-masing Hakim Ad Hoc.

4. Berdasarkan Undang-Undang, Hakim Karir bersama dengan Hakim Ad Hoc, melaksanakan tugas yudisial dalam menerima perkara, memeriksa perkara serta memutus perkara juga menandatangani Putusan Pengadilan.

Untuk jaminan terhadap keterlibatan Hakim Ad Hoc, sehingga tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Ditegaskan, bahwa hakim Ad Hoc maupun hakim karir, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Seharusnya sama-sama berstatus sebagai pejabat negara. Dengan kewenangan sebagaimana dinyatakan dalam UU No 48 tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman.

Oleh karena itu, pengecualian hakim Ad Hoc bukan sebagai pejabat negara yang tertuang dalam Pasal 58 huruf e UU No 20 tahun 2023 tentang ASN, menimbulkan multi tafsir harus dihapus/ dicabut.

5. Terhadap PP No. 94 Tahun 2012, maupun Perpres No. 5 Tahun 2013. Kesemuanya telah melewati lebih dari 2 (dua) periode kepemimpinan bangsa ini. Diharapkan, untuk dapat segera dilakukan revisi oleh pemerintah/ Presiden yang saat ini masih menjabat, guna meningkatkan kualitas kesejahteraan seluruh hakim (Karier & Ad Hoc) di Indonesia yang selaras dengan tanggung jawabnya.

6. Negara dalam hal ini, Mahkamah Agung Republik Indonesia secara berkala merekrut para profesional yang memiliki pengetahuan dan keahlian khusus. Sangat diperlukan oleh negara untuk melaksanakan tugas-tugas yudikatif sebagai Hakim Ad Hoc bersama Hakim Karir dalam menyelenggarakan fungsi kekuasaan kehakiman.

Sehingga harus sama-sama diperhatikan baik mengenai hak-hak dasar, jaminan sosial, jaminan keamaan, aspek kesejahteraan lainya dan sebagaimana terus diperjuangkan melalui wadah organisasi kami Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI).

“Hakim Sejahtera, Hukum Terjaga, Masyarakat Berdaya.”

Komentar

Berita Terkait