Peran Perguruan Tinggi Sosialisasi Hukum Cegah Kejahatan Pada TKI di Malaysia

Detiknews.id Malaysia – Program penyuluhan hukum bisa terserap dan diimplementasikan oleh masyarakat pada umumnya dan pada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) khususnya. Sehingga masyarakat dapat menerima dan mendapatkan manfaatnya dari ilmu tersebut. Kegiatan penyuluhan hukum berada di Sanggar Bimbingan Sentul Madrasatul Mahmudiah Kg Chubadak Hilir, Kuala Lumpur, Malaysia.

Peran penyuluhan hukum ini dapat memberikan peningkatan pengetahuan hukum kepada warga masyarakat, khususnya TKI di Malaysia agar dapat dilakukan pencegahan terhadap Kejahatan yang akan terjadi terhadap TKI di Malaysia. Peserta yang hadir sebanyak 35 peserta yang terdiri dari para Pekerja Migran Indonesia, para Relawan Sanggar, dan anak-anak dari pekerja Migran.

Tim Penyuluh pada kegiatan dari Universitas Wijaya Kusuma Surabaya antara lain adalah Dr. Umi Enggarsasi, S.H., M.Hum., Isetyowati Andayani, S.H., M.H., Nur Khalimatus Sa’diyah S.H., M.H., dan Dr. Raden Besse Kartoningrat, S.H., M.H.

Usai penyuluhan, Dr. Raden Besse Kartoningrat, S.H., M.H menuturkan, ini dalam rangka membantu dalam mengatasi permasalahan hukum yang dihadapi oleh TKI di Malaysia beserta keluarganya, maka Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya hadir untuk dapat memberikan keilmuannya.

“Program penyuluhan hukum ini diharapkan dapat meningkatan pengetahuan dan kesadaran hukum, Suatu pendidikan ilmu pengetahuan dalam menyelenggarakan layanan pendidikan tinggi sangatlah berarti apabila suatu pengetahuan dapat tersampaikan dengan baik kepada masyarakat, pada umumnya dan pada TKI khususnya,” tutur Dr. Raden Besse Kartoningrat, S.H., M.H.

Para TKI yang ikut dalam penyuluhan tentang hukum / M9

Menurutnya, Ilmu pengetahuan hukum merupakan salah satu cabang di bidang hukum, yang memberikan pengetahuan hukum kepada masyarakat sama fungsinya dengan ilmu pengetahuan yang lain yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat yang berhubungan dengan hukum

“Apalagi hampir semua aktivitas yang ada hampir bersentuhan dengan hukum, baik hukum publik, hukum privat, hukum agama, hukum lingkungan dan jenis hukum-hukum yang lain,” terangnya.

Masih dengan Dr. Raden Besse Kartoningrat, S.H., M.H. terkait perlindungan terhadap pekerja migran atau TKI tersebut tidak luput juga perlindungan terhadap hak-hak anak dari pekerja migran tersebut.

“Hal ini juga masih terkait dalam pasal 52-pasal 66 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mana hak-hak anak tersebut terkait juga dari adanya perkawinan campuran yang terjadi di Malaysia,” tandasnya.

Ditempat yang sama, Isetyowati Andayani, S.H., M.H. mengatakan, adanya TKI di Malaysia memberikan dampak adanya Perkawinan Campuran hal ini dikarenakan juga dalam Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur terkait perkawinan campuran yaitu perkawinan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.

“Bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negara kesatuan Republik Indonesia ini adalah hak persamaan yang sederajat di mata hukum dan pemerintahan bagi setiap warganya, baik bagi yang tinggal di Indonesia maupun yang sedang bekerja di luar Indonesia yaitu yang menjadi TKI di Malaysia,” ujarnya

Sementara Dr. Umi Enggarsasi, S.H., M.Hum juga mengatakan, minimnya pengetahuan mengenai hukum dan upaya pencegahan kejahatan sehingga banyak tenaga kerja Indonesia (TKI) mengalami Kejahatan/sebagai korban Tindak pidana, namun tidak sedikit dari mereka tidak berani melaporkan hal ini dikarenakan masih dalam taraf masyarakat yang “takut” pada hukum.

“Fakta kasus pelecehan seksual terhadap TKWI Indonesia di Malaysia cukup banyak salah satunya adalah kasus pemerkosaan terhadap TKI Indonesia di Serawak telah berkali-kali terjadi. Kantor penghubung KJRI kuching bersama korban selalu mengadu pada kepolisian setempat tetapi hasilnya nihil,” jelasnya.

Lanjutnya, fakta yang paling menyakitkan menimpa Nurjana TKI asal Sintang, Kalimantan Barat yang diperkosa dua anggota polisi Serawak bernama Ahmad bin Engge dan Sulaiman Chundi di dekat kawasan Markas Kepolisian Sektor Sri Begawan.

“Faktor lain yang mengakibatkan TKI Indonesia menjadi korban kejahatan di Malaysia adalah faktor rendahnya pengetahuan karena kurangnya pendidikan sehingga mereka harus mencari pekerjaan ke luar negeri tanpa pengetahuan yang cukup maka hal ini akan menjadi faktor viktimogen bagi diri mereka sendiri,” terangnya.

Diungkapkan juga oleh Dr. Umi Enggarsasi, secara garis besar faktor penyebab TKI menjadi korban kejahatan di Malaysia adalah : Kurangnya pengetahuan akibat rendahnya pendidikan, mayoritas tenaga kerja di Indonesia adalah lulusan SD dan SMP.

“Akibat perbuatan diri mereka sendiri karena tidak mempersiapkan diri secara administratif dan skill yang memadai, fakta menunjukan bahwa mayoritas dari TKI yang datang ke Indonesia bekerja di sektor informal. Pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab baik agen-agen yang tidak bertanggung jawab sampai para majikan yang tidak manusiawi,” ungkapnya.

Ditempat yang sama, Nur Khalimatus Sa’diyah, S.H., M.H memaparkan soal Undang-undang No 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, pada dasarnya pemerintah Indonesia telah berupaya memberi perlindungan hukum bagi TKI yang bekerja di luar negeri, begitu juga bagi para TKI yang bekerja di Malaysia.

“Hal tersebut ditegaskan pada Pasal 77 dan 78 ayat (1) Undang-undang No 39 Tahun 2004, yang menyebutkan bahwa TKI yang bekerja di luar negeri termasuk di Malaysia berhak mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah Indonesia,” paparnya.

Untuk diketahui, pada Pasal 77 ayat (2) disebutkan bahwa TKI mendapatkan perlindungan pada pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan purna penempatan. Perlindungan pada masa pra penempatan bagi TKI antara lain :

1. Para calon TKI diharuskan mengikuti semua syarat-syarat yang ditentukan atau sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan untuk bekerja di luar negeri khususnya Malaysia.

2. Para calon TKI diwajibkan mendapatkan pelatihan dan juga diwajibkan mengikuti program asuransi untuk dapat bekerja di luar negeri termasuk di Malaysia.

Perlindungan diberikan pada saat tenaga kerja Indonesia tersebut melakukan pelatihan sebelum berangkat bekerja di Malaysia.

Perlindungan diberikan pada saat tenaga kerja Indonesia tersebut berada di tempat penampungan sebelum ditempatkan bekerja di Malaysia.

Perlindungan yang diberikan pada masa pra penempatan TKI lebih bersifat preventif atau bersifat mencegah agar sesuatu hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.

Perlindungan bagi TKI pada masa pra penempatan diberikan karena, tidak sedikit calon TKI yang berada di pusat pelatihan atau di tempat penampungan yang mengalami tindakan yang tidak semestinya dari para agen TKI tersebut.

Seperti para tenaga kerja Indonesia tersebut kekurangan makan dan minum, tempat yang tidak memadai dimana ruang gerak bagi para calon TKI tersebut sangat terbatas dan juga tidak sedikit dari calon TKI yang mengalami kekerasan fisik dan juga pelecehan seksual. Harapannya, dengan sosialisasi hukum yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi bisa mencegah kejahatan yang terjadi pada TKI dimanapun berada. (M9)

Komentar

Berita Terkait