Detiknews.id Surabaya – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) bersama Pusat Penelitian dan Pengembangan Transportasi Udara (Puslitbang TU) Balitbang Kementerian Perhubungan terus berupaya dalam mengembangkan hasil penelitiannya berupa Standing Water Detector (SWD) atau alat pendeteksi tingginya genangan air yang ada di landas pacu bandar udara (bandara). Kehandalan dari hasil penelitian yang telah dilakukan sejak tahun 2018 itu pun dibahas dalam Focus Group Discussion (FGD) secara daring.
Seperti diketahui, tingginya curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia memicu terjadinya genangan air pada landas pacu atau runway di bandara, sehingga mengancam keselamatan pesawat yang akan mendarat. Karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mendukung pengembangan peralatan keselamatan penerbangan tersebut.
Ketua Peneliti SWD, Dr Melania Suweni Muntini MT, menjelaskan bahwa persoalan utama dalam penerbangan ialah pilot pesawat terbang sering tidak mendapatkan informasi secara real-time mengenai genangan air (standing water) yang ada pada landasan pacu.
“Dengan alat ini, kita akan mendapatkan informasi mengenai ketinggian standing water yang ada pada landasan pacu, sehingga informasinya bisa digunakan untuk berbagai keperluan,” terangnya.
Selama enam bulan ke depan, lanjut dosen yang akrab disapa Melani kini, pengembangan yang telah dimulai sejak tahun 2018 ini difokuskan pada uji kehandalan dari SWD dengan pengujian yang dilaksanakan secara langsung di Yogyakarta International Airport (YIA). Tahun ini pula, ditambahkan sensor untuk mengukur curah hujan yang terjadi secara real-time.
“Pengukuran curah hujan akan bekerja bersama dengan pengukuran ketinggian air,” ujarnya. Kamis (26/11/2020)
Selain di bandara, pengujian pun dilakukan di laboratorium terbuka Departemen Fisika ITS untuk memastikan bahwa alat bekerja dengan benar di kedua tempat.
“Alasan lainnya juga karena jika di bandara, saat hujan kita tidak bisa melihat langsung alatnya karena berbahaya. Kalau di lab kita bisa mengalibrasi secara langsung setelah diakuisisi data,” tutur Melani.
Alat ini memiliki dua sistem deteksi yaitu hardware dan software. Untuk software, data-data seperti profil runway berupa kekasaran serta kemiringan runway. Hardware sendiri akan bisa mendeteksi temperatur dan kelembaban udara.
“Untuk metode deteksi standing water ini kita mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomer KP 39 Tahun 2015 dan Annex 14, Aerodrome,” terang dosen Departemen Fisika ITS ini.
Pada pengoperasiannya, purwarupa SWD akan diletakkan di samping landas pacu pada area touchdown. Saat hujan, aliran air dari landasan pacu akan menyentuh sensor pada purwarupa yang kemudian aliran ini akan dikonversikan menjadi data digital.
Selanjutnya digabungkan dengan data sekunder seperti profil landasan pacu, akan memberikan output berupa ketinggian standing water. Pengingat akan menyala saat 25 persen alat menunjukkan bahwa ketinggian telah sama atau lebih dari 3 milimeter.
Tahap uji kehandalan kali ini, diselingi dengan sertifikasi dari SWD ini sendiri. Sertifikasi akan memerlukan prosedur dan turut serta dari berbagai pihak dalam bidang penerbangan.
Kepala Puslitbang Transportasi Udara, Capt Novyanto Widadi SAP MM turut mengatakan, pada tahap sertifikasi akan dipertimbangkan dari segi regulasi oleh Kementerian Perhubungan.
“Setelah tahap-tahap ini selesai, alat ini tentu akan bisa digunakan secara massal di berbagai bandar udara di Indonesia,” tandasnya.
Sertifikasi dari alat ini sangat diperlukan mengingat banyaknya jumlah bandara di Indonesia. Kepala Kantor Otoritas Bandar Udara Wilayah I Kelas Utama, Ir Mohammad Alwi MM mengungkapkan, semakin tidak pastinya curah hujan, alat ini sangat cocok diterapkan di Indonesia.
“Jika alat ini sudah disertifikasi, kita tidak perlu ragu lagi untuk menggunakan alat ini,” ungkapnya.
General Manager AirNav Cabang Surabaya, MT Nurhuda menyampaikan, mengkomunikasikan kepada pilot yang akan melakukan pendaratan secara langsung mengenai standing water ini merupakan hal yang krusial agar pilot dapat membuat keputusan yang tepat dalam pendaratan.
“Ini tentu bisa mengurangi waktu pesawat untuk holding di udara, dan juga mengurangi tekanan pada air traffic controller,” tuturnya.
Nurhuda pun mengharapkan, purwarupa bisa diterapkan di Bandara Juanda, Surabaya dan bandara lainnya di Indonesia. Mengingat iklim dan hujan sudah mulai sulit untuk diprediksi, bahkan di Surabaya sendiri.
“Di Juanda pun sering ada standing water. Namun selama ini sepertinya pada ketinggian yang masih bisa ditoleransi, tapi kita ingin mengetahui secara pasti apakah ini aman atau tidak,” tandasnya. (M9)
Komentar