Detiknews.id Jakarta – Politik Hukum Perubahan UU TNI, menjadi viral di Indonesia. Mengkaji dalam tentang hubungan sipil dan militer di Indonesia setelah 27 tahun reformasi telah mengalami perkembangan signifikan.
Tetapi belakangan mengalami persoalan baru terkait supremasi sipil dan peran militer dalam demokrasi. Namun di sisi lain, beberapa kebijakan menunjukkan bahwa supremasi sipil belum sepenuhnya mapan, karena adanya resistensi terhadap kontrol penuh dari otoritas sipil.
Reformasi semula dimaksudkan untuk mematangkan demokrasi melalui pembatasan peran militer dalam kehidupan sipil dengan empat langkah : (1) Penguatan supremasi sipili dalam urusan public. (2) Memastikan netralitas militer dalam politik khususnya pemerintahan dan Pemilu. (3) Menjamin kebebasan sipil melalui penjagaan hak-hak masyarakat. (4) Memastikan kelanjutan reformasi tanpa melibatkan kembali militer dalam jabatan sipil.
Namun kini Pemerintah mengajukan perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan empat pertimbangan : (1) Kebutuhan interoperabilitas TNI agar lebih adaptif dalam kerjasama penanganan keamanan dan pertahanan moderen non militer & hibrida. (2) Memperjelas batasan peran TNI dalam politik dan sector sipil agar tetap prinsip reformasi. (3) Menguatnya diskursus dwi fungsi TNI maka diperlukan pengaturan demi mengatasi pembiasan hukum. (4) Penyelarasan pengaturan mengenai TNI dan peran pertahanan dalam ragam UU seperti UU Pertahanan Negara, UU Polri, UU Intelijen, dan UU Keamanan Siber agar tidak tumpang tindih.
Pertimbangan mengenai peran TNI dalam memperkuat dan mempercepat agenda politik pembangunan Prabowo menjadi sorotan utama. Pembahasan mengenai politik hukum perubahan UU TNI berkisar pada tiga bagian penting yaitu substansi perubahan UU TNI, konteks politik hukum perubahan UU TNI, dan kritik terhadap perbahan.
Substansi Perubahan UU TNI
Perubahan UU TNI mencakup tiga susbtansi utama yaitu : (1) Penambahan Tugas Pokok TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Perubahan pasal 7 mengingat meluasnya sector pertahanan non perang seperti pertahanan syber, terorisme, bencana alam dan kemanusiaan. (2) Penempatan Prajurit TNI Aktif di Kementerian/Lembaga. Perubahan Pasal 47 dengan penugasan prajurit TNI dalam jabatan sipil yaitu pada 10 (sepuluh) institusi menjadi 16 institusi berkaitan erat dengan kepentingan pada pasal 7. (3) Penambahan Masa Dinas Keprajuritan. Perubahan pasal 53 tentang usia pensiun diperpanjang masing-masin tiga tahun.
Tiga substansi perubahan tersebut tidak sertamerta dibenarkan dalam tinjauan politik hukum. Substansi pertama tentang perluasan tugas TNI seiring perluasan sector pertahanan harus dimaknai bahwa kehadiran TNI bukan sebagai pelaksana utama melainkan bersifat dekonsentrasi dari pada tugas utama sipil.
Meskipun dalam banyak hal didapatkan sipil memiliki sejumlah kelemahan. Substansi kedua tentang penembatan anggota TNI pada 16 instansi sipil berpotensi mengacaukan siklus manajemen talenta pada instansi Aparatur Sipil Negara (ASN). Substansi ketiga tentang perpanjangan masa jabatan anggota TNI tentu menambah beban anggaran negara sehingga berpengaruh terhadap penambahan belanja APBN.
Meskipun tiga substansi tersebut jauh dari argumentasi pembenaran namun perubahan UU TNI patut dipandang sebagai strategi Presiden Prabowo Subiyanto yang bersumber dari dua asumsi dasar yaitu : (1) Perubahan sebagai upaya pengkawalan program pembangunan demi percepatan pencapaian hasil target politik. (2) Pemerintahan sipil selama 27 tahun dipandang belum mampu menghasilkan percepatan pembangunan.
Menempatkan militer dalam jagatan sector sipil telah berlaku pada sejumlah negara demokrasi yang memberlakukan kebijakan serupa : (1) Amerika Serikat memastikan prinsip supremasi sipil atas militer dijunjung tinggi. Namun, perwira militer yang pensiun sering kali menduduki jabatan sipil strategis, seperti Menteri Pertahanan (dengan persetujuan Kongres). (2) China memiliki model kepemimpinan militer terhubung dengan Partai Komunis China (PKC). Para jenderal aktif dan pensiunan sering mendapatkan posisi sipil strategis dalam pemerintahan atau Partai. (3) Turki memiliki sejarah militer yang kuat dalam politik, terutama melalui kudeta pada abad ke-20.
Namun, setelah reformasi di bawah Recep Tayyip Erdoğan, peran militer dalam politik dikurangi. Studi menemukan kepemimpinan sipil memiliki kemampuan mengendalikan potensi militer melakukan dari yang seharusnya (Going beyond the call of duty).
Konteks Politik Hukum Perubahan
Perumusan perubahan UU TNI merujuk pada pandangan Gutan yaitu : (1) Menyesuaikan tantangan pertahanan yang semakin kompleks. Perubahan diperlukan demi militer dapat beradaptasi dengan perkembangan strategi pertahanan global. (2) Perubahan disesuaikan dengan nilai pertahanan pasca reformasi yang menuntut profesionalisme militer berbasis pada penguatan demokrasi. (3) Pemanfaatan teknologi pertahanan demi mendukung penguatan pemerintahan sipil dan pembangunan nasional.
Dalam hal tatakelola negara, perubahan UU TNI membawa sejumlah implikasi sebagai berikut : (1) Hubungan sipil-militer dalam demokrasi berpotensi melemahkan supremasi sipil. (2) Perluasan fungsi TNI pada sector keamanan berpotensi memicu overlapping kelembagaan terutama penanganan projek demokrasi seperti Pemilu dan demonstrasi. (3) Potensi terjadinya militerisasi politik ditandai TNI berperan aktif dalam menentukan kebijakan negara yang seharusnya menjadi domain sipil. (4) Potensi penguatan ekonomi militer bisa berdampak pada konflik kepentingan dan menguatnya peran bisnis militer. (5) Perluasan kewenangan TNI dalam menghadapi ancaman non-militer seperti terorisme, separatisme, atau konflik sosial berimbas pada pelanggaran HAM.
Meskipun pemerintahan Prabowo konsep pada pilihan tersebut namun perubahan tersebut tetap menuai pro dan kontra di masyarakat. Perspektif Pro berpijak pada alasan modernisasi dan penguatan TNI, kesejahteraan dan karier prajurit, optimalisasi peran TNI dalam keamanan nasional, penyelarasan dengan kebijakan global. Sedangkan perspektif kontra berpijak pada alasan ancaman terhadap supremasi sipil, militerisasi dalam pemerintahan, pelanggaran terhadap prinsip reformasi TNI, peluang penyalahgunaan kewenangan.
Jalan tengah dari dua perspektif tersebut ialah mengedepankan kekhasan demokrasi yaitu transparan, akuntabel, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan menjadi kunci dalam setiap kerja-kerja TNI di sector sipil.
Kritik Terhadap Perubahan
Usulan pemerintah terhadap perubahan UU TNI dalam konteks politik patut dipandang sebagai strategi Pemerintah menguatkan dan mempercepat agenda pembangunan. Pemerintah perlu memastikan bahwa pilihan ini didasarkan pada komitmen politik berbasis populisme dan demokratisme, meskipun dalam banyak hal kebijakan tersebut tidak sejalan dengan prinsip civilisme. Pemerintah juga harus mempu mempersiapkan instrumen untuk mengendalikan potensi laten yang belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh militer pada sector sipil (Latent Potential).
Dukungan budaya masyarakat sipil pada umumnya saat ini seperti feodalisme militer yaitu pola hubungan sosial di mana militer dianggap sebagai kelas yang lebih tinggi dan harus dihormati tanpa pertanyaan. Budaya ketakziman militer berupa sikap hormat berlebihan terhadap militer yang didasari rasa takut atau kagum. Budaya demikian meniadakan kritisisme terhadap keberlebihan militer pada sector sipil.
Politik hukum perubahan UU TNI patut dimaknai sebagai upaya kembalinya dwi fungsi TNI karena kebijakan tersebut secara substansial bertentangan dengan semangat pemerintahan sipil yang demokratis.
Dalam kerangka penguatan dan percepatan pembangunan maka cukup diperlukan instrumen berupa peraturan kebijakan seperti Keputusan Bersama atau Surat Keputusan Bersama (SKB). SKB bukan peraturan perundang-undangan, bersifat mengikat ke dalam, dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan, dapat dibatalkan dan dicabut.
Posisi militer di sector sipil yang diatur dalam UU berdampak pelemahan demokrasi dan supremasi sipil, melanggar prinsip profesionalisme militer, peluang menyalahgunaan kewenangan dan otoritarianisme, tumpang tindih kewenangan dan efektivitas administrasi, potensi kriminalisasi kebebasan sipil, dampak terhadap reformasi TNI dan citra Indonesia di dunia internasional.
Namun ketika Pemerintah bersikukuh pengaturannya pada level UU maka perlu adanya pasal terkait lima point : (1) Sistem pengawasan dan akuntabilitas public. (2) Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.(3) Penguatan peran sipil dalam pertahanan bukan sebaliknya penguatan militer di sector sipil. (4) Pengaturan kompetensi obsolut dalam sistem peradilan terhadap anggota TNI yang melakukan pelanggaran dalam sector sipil.
Perubahan UU TNI semestikan tersedua pasal yang memberikan jaminan bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan mengontrol kebijakan public, kendatipun sector tersebut dikelola oleh TNI. Prinsip ini sejalan dengan demokrasi partisipatif dan transparansi dalam pemerintahan.
Untuk diketahui, Dr. Al Ghozali Hide Wulakada. SH, MH adalah Ahli Hukum Tata Negara, Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Lahir di Lembata NTT pada 22 Juli 1979. Pendidikan S1 dan S2 Hukum di UNISRI lalu melanjutkan S3 ilmu hukum di UNS. Lulus dengan predikat cum laude di selesaikan dalam 2,6 bulan disertase hukum dengan murni pendekatan filsafat.
Al Ghozali Hide Wulakada dikenal juga sebagai ahli filsafat hukum lantaran konsentrasi kajian hukum baik dalam forum-forum formil akademik dan non formil akademik notabene di bidang filsafat hukum. (M9)
Komentar