Detiknews.id Surabaya – Ungkap kasus barang impor tiruan atau merek palsu sebanyak satu kontainer asal negeri China digelar di Tempat Peti Kemas Perak Surabaya. Barang tersebut dikirim melalui angkutan laut di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Bersama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta stakeholder terkait.
Hadir dalam kegiatan tersebut Wakapolda Jawa Timur Brigjen. Pol. Drs. Djamaludin dengan didampingi Dirreskrimsus Polda Jatim Kombes Pol. Gideon Arief Setyawan, Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Heru Pambudi, Kementerian Keuangan Brigjen Pol. Drs. Reyhard Silitonga, Ketua Pengadilan Negeri Surabaya Nursyam serta Pejabat Instansi terkait dan para tamu undangan.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Heru Pambudi menyebut satu kontainer tersebut berisi 858.240 buah pulpen senilai Rp1.019.160.000. Barang atau produk yang berhasil diamankan adalah Pulpen merek Standard yang mana telah dipalsukan mereknya oleh salah satu importir dari negara Tiongkok.
” Pengirimnya adalah PT. PAM dari China. Pulpen tiruan itu merek Standard AE7 yang sebenarnya ‘made in Indonesia’ dengan hak kekayaan intelektual atau HKI dimiliki oleh PT Standardpen Industries. Indonesia sangan konsen terhadap pelanggaran HKI, harapannya dapat menambah poin agar Indonesia tidak masuk dalam ‘Priority Watch List United States Trade Representative’ untuk isu perlindungan HKI,” tuturnya. Kamis (09/01/2020)
Masih dengan Heru, keberhasilan ungkap kasus barang impor tiruan juga kerja sama pemilik atau pemegang merek yang telah melakukan perekamanan atau rekordasi dalam sistem otomasi kepaneanan barang-barang HKI yang telah diimplementasikan oleh Bea Cukai sejak 21 Juni 2018. Sampai sekarang sudah ada sebanyak tujuh merek dan dua hak cipta yang telah terekordasi dalam sistem ini, salah satunya dari PT Standardpen Industries.
” Untuk penindakan atas barang impor yang melanggar HKI sangat penting dalam melindungi industri dalam negeri, terutama pemilik atau pemegang merek/ hak cipta maupun industri kreatif dalam negeri agar dapat tumbuh dan memiliki daya saing sehingga dapat berkontribusi kepada negara melalui pembayaran pajak,” pungkasnya.
Ungkap kasus barang impor tiruan atau merek palsu ini merupakan yang pertama sejak diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2017, menyusul diberlakukannya Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2006, sebagai revisi dari UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Akibat perbuatannya pelaku dijerat dengan Pasal 99 UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 2 miliar. (M9)
Komentar